Nila.sapi.Narsis

Minggu, 16 Oktober 2011

kewenangan Presiden dalam memberikan remisi terhadap Napi EXTRA ORDINARY CRIME

TUGAS DARI
Dosen : Muh. Asrul , S.H., M.H

Ø      Ditinjau dari kewenangan Presiden di lingkungan Negara, layakkah napi denagn kasus luar biasa ( EXTRA ORDINARY CRIME ) seperti korupsi, terorisme dan narkoba mendapatkan remisi ?

Remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat [6] PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan – PP 32/1999). Jadi, dalam remisi yang dikurangi bukanlah masa tahanan, tapi masa menjalani pidana oleh narapidana dan anak pidana yang diputuskan sebelumnya oleh pengadilan.

Pihak-pihak yang berhak mendapatkan remisi adalah sebagai berikut:
a)      Narapidana dan Anak Pidana (lihat Pasal 14 ayat [1] huruf i dan Pasal 22 ayat [1] UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan), dan
b)     Narapidana dan Anak Pidana yang tengah mengajukan permohonan grasi sambil menjalankan pidananya serta Narapidana dan Anak Pidana Asing (lihat Pasal 11 Keputusan Presiden No. 174 Tahun 1999 tentang Remisi – Keppres 174/1999).
Jadi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, remisi bukan diberikan kepada tahanan tapi kepada narapidana dan anak pidana.

Meski demikian, tak semua narapidana dan anak pidana berhak atas remisi. Narapidana dan anak pidana tidak mendapatkan remisi dalam hal:
1.      Narapidana dan Anak Pidana yang dipidana kurang dari 6 (enam) bulan;
2.      Narapidana dan Anak Pidana yang dikenakan hukum disiplin dan didaftar pada buku pelanggaran tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada pemberian Remisi;
3.      Narapidana dan Anak Pidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas; atau
4.      Narapidana dan Anak Pidana yang dijatuhi kurungan sebagai pengganti pidana denda.
(Dasar hukum: Pasal 12 Keppres 174/1999).


Adapun Presiden sebagai Kepala Negara memiliki hak yudikatif yaitu Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi, :

1)      Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Untuk menjamin kepastian hukum dan hak-hak terpidana, dalam Undang-Undang ini diatur percepatan tata cara penyelesaian permohonan grasi dengan menentukan tenggang waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian permohonan grasi. Tata cara pengajuan grasi, terpidana langsung menyampaikan permohonan tersebut kepada Presiden, dan salinan permohonan tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan atau menolak permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
2)      Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif.

Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
3)      Abolisi, Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

Berbeda dengan Grasi, Amensti dan Abolisi tidak memerlukan permohonan tersendiri. Tapi dengan kewenangan konstitusional yang ada, Presiden dapat melakukannya. Dengan pemberian Amnesti maka semua akibat pidana dihapuskan sementara dengan pemberian Abolisi maka penuntutan ditiadakan. Dan Rehabilitasi adalah pemulihan hak-hak mereka selanjutnya
4)      Rehabilitasi, merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya




Nah jika dilihat dari penjelasan diatas mengenai remisi dan hak yudikatif Presiden sebagai Kepala Negara, remisi merupakan bagian dari grasi, yang membuktikan bahwa Presiden layak memberikan remisi kepada serang narapidana, namun jika narapidana itu adalaha napi kasus EXTRA ORDINARY CRIME maka, Presiden seharusnya memikirkan dengan baik dan mempertimbangkan  pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Contohnya Napi Korupsi, memang, remisi merupakan hak para terpidana yang menjalani masa tahanan termasuk terpidana kasus korupsi dengan syarat diantaranya harus berkelakuan baik (Pasal 14 butir i UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 34 ayat 2 Peraturan Pemerintah-PP No. 28/2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan).
Permasalah kemudian terkait dengan siapa yang berhak mendapatkannya, apa definisi berkelakuan baik, dan persoalan transparansi. Kata ‘baik’ menjadi bersayap maknanya dan kewenangan untuk mengartikan seakan mutlak menjadi hak kepala lembaga pemasyarakatan dan jajaran dibawahnya. Sudah menjadi rahasia umum berkelakuan baik sering diartikan ‘kedekatan dengan petugas dan kepala lapas’ atau tokoh dengan kriteria ‘dekat dengan penguasa’.
Lalu dengan demikian apakah hukuman penjara dengan maksud  menimbulkan efek jera tercapai? Dapat dipastikan jawabannya adalah tidak.
Indonesia = Negara Hukum
Berdasarkan konsitutsi, Indonesia adalah negara hukum, dan hukum akan efektif jika diterapkan dengan rasa kesadaran dan berkeadilan. Keadilan bukan berarti dapat menyenangkan semua orang melainkan dapat menempatkan sesuatu sesuai tempat atau porsinya. Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul Algemeine Staatslehre menuliskan hukum dilakukan harus dengan kesadaran, sehingga semakin mendekatkan pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna. Sementara kesadaran diciptakan bukan hanya melalui himbauan, tapi lewat hukuman yang tegas dan menimbulkan efek jera sehingga seseorang harus berpikir ribuan kali sebelum melakukan korupsi.
            Jadi bisa saya simpulkan jika ditinjau dari kewenangan Presiden di lingkungan Negara, Presiden berhak memberikan remisi kepada Napi EXTRA ORDINARY CRIME. Namun jika ditilik dari keadilan Presiden seharusnya tidak memberikan remisi kepada napi EXTRA ORDINARY CRIME dikarenakan hal tersebut tidak memberikan efek jera terhadap pelaku, melainkan membuat masyarakat berasumsi bahwa kejahatan EXTRA ORDINARY CRIME adalah kejahatan biasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar